PEMBIASAAN AKTIVITAS RELIGIUS BAGI SISWA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF DINAMIKA REMAJA

“Kelemahan wanita tidak bersifat fisik.
Kelemahan itu adalah ketika mereka “menyerah”.
(Erik H. Erikson)

Salah satu nilai karakter dalam PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) adalah nilai karakter religius. Pembentukan nilai karakter religius melalui pembiasaan aktivitas religius tidak hanya dikerjakan di rumah saja atau di pesantren. Akan tetapi, di sekolah umum, seperti SMPN 55 Surabaya, juga berperan penting. Pembiasaan ini bagi siswa merupakan langkah preventif dalam masalah-masalah dinamika remaja. Bagaimana bisa?

Mulanya biasa saja. Berjalan sesederhana rancangan perdananya. Semua siswa diwajibkan mengikuti doa pada awal aktivitas pembelajaran setiap hari. Di ruang-ruang kelas, para siswa didampingi oleh gurunya masing-masing yang mengampu jam pertama. Setelah lagu Indonesia Raya dikumandangkan seraya berdiri dan bersama-sama, mereka mengkaji kitab sucinya. Segenap siswa muslim mendengarkan dan mengikuti membaca panduan lafal tartil Al Quran secara bersama-sama.

Para siswa membaca Al Quran secara tartil mengikuti yang didengarkan dari panduan membaca yang disuarakan dari pengeras suara sentral di ruang guru. Al Quran yang dibaca setiap hari mereka bawa dari rumah. Mereka masih tetap didampingi oleh para guru muslim yang mengampu jam pertama di kelas mereka. Para siswa nasrani membaca Al Kitab atau Bibel dengan bimbingan Guru Pendidikan Agama Nasrani di” Kapela”, sementara ini menggunakan ruang laboratorium IPA. Al Kitab atau Bibel setiap hari mereka bawa dari rumah pula.

Kemudian para siswa laki-laki dan perempuan muslim dikomando melalui salon/speaker untuk menuju tempat ibadah. Para siswa muslim menuju mushala SMP Negeri 55 Surabaya untuk salat Dhuha. Para siswa nasrani tetap di “Kapela” untuk melanjutkan aktivitas berupa persekutuan doa. Para guru mendampingi siswa sesuai dengan agama yang mereka anut. Bagi yang muslim secara bergiliran memberi contoh dan mendampingi tata cara salat Dhuha dan adab serta kaifiyat doa sesudahnya. Kemudian, tepat pukul 07:00 para guru pendamping mengampu para siswa kembali ke kelasnya masing-masing dengan tertib.

Inovasi kemudian muncul seiring dengan terilhamnya gagasan lanjut pendidikan karakter. Kegiatan literasi dan kegiatan pembiasaan hidup beragama semakin diefektifkan menjadi santapan rukhani. Santapan rukhani yang dimohonkan kepada Ilahi Robbi menjadi penyubur jiwa generasi emas yang berkarakter, salih dan salihah. Generasi emas yang memiliki kesalihan pribadi, kesalihan sosial, dan kesalihan spiritual yang kelak menginspirasi untuk menyuburkan kesalihan peri hidup dan kehidupan mereka di kancah realitas zamannya.

Para guru dapat pembelajaran berharga dari realitas perilaku para siswa di arena lingkungan pembelajaran. Berawal dari merekam aktivitas para siswa sepanjang waktu yang dijadwalkan untuk Dhuha. Ditemukanlah data bahwa ketika salat Dhuha dilaksanakan bersama keenam ratus empat puluh tiga siswa dan siswi, ada sejumlah siswa dalam satu gank yang aktivitasnya berupa convoy semata, berjalan sepanjang teras kelas-kelas di lantai 3 lalu turun ke lantai 2, kemudian mereka kembali ke kelas pembelajaran bersama teman-temannya yang istiqomah berdhuha. Mereka berekspresi seolah sedang menjalani aktivitas yang dibenarkan, tak tertandakan pada raut muka dan tindak-tanduknya bahwa mereka baru saja melakukan aktivitas yang bukan semestinya. Namun, ada pelajaran agung yang dapat dituai bahwa dalam proses pembelajaran perlu ada proses perbaikan demi perbaikan, adalah sebuah keniscayaan. Bahwa dalam proses pendidikan guna menemukan formula tepat melayani sejamak siswa yang bhineka, perlu disadari adanya “trials and error” atau “selecting and conecting” ala Adward L. Thorndike sebagaimana yang ia formulasikan dalam disertasinya pada tahun 1898.

Pada giliran berikutnya, untuk memadukan kedua kegiatan ini, manajemen sekolah Bapak Darto,M.Pd. membuat kebijakan dengan memberikan waktu Dhuha bergantian kepada para siswa. Pada hari Selasa para siswa laki-laki diberi kesempatan melaksanakan salat Dhuha, bersama dan berjamaah, serta rangkaian doanya. Sementara itu, pada waktu yang sama, para siswa perempuan melakukan aktivitas literasi sebagai wujud pengejawantahan Tantangan Membaca Surabaya (TMS) di kelas masing-masing.

Bagi siswa muslim tentu utamanya ini sebagai implementasi perintah “iqro” dan “bismirobbik” secara holistik. Sebagaimana sejarahnya, iqro’ dalam bahasa asalnya, kata ini dibangun dari verba “qara’ah” yang bermakna “menghimpun”. Bila ditelusuri dari makna kata asal ini menunjukkan bahwa iqra’ yang diterjemahkan dengan “bacalah” tidak mensyaratkan adanya objek tertulis saja sebagai objek baca. Tidak pula menyaratkan yang diucapkan saja sehingga terdengar oleh orang lain. Oleh karenanya, dalam kamus dapat ditemukan berjumlah polisemi dari kata iqro’. Polisemi ini, di antaranya, dapat ditemukan makna ‘menelaah, menyampaikan, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu’, dan sebagainya.

Selanjutnya, pada hari Selasa para siswa perempuan ini dipandu untuk salat Dhuha saat istirahat pertama. Esok harinya, Rabu, para siswa perempuan muslim yang melaksanakan salat Dhuha, bersama berjamaah, di mushala dengan didampingi oleh para guru perempuan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Sementra itu, para siswa laki-laki melakukan kegiatan literasi di kelasnya masing-masing.

Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan secara bergiliran antara siswa laki-laki dan siswa perempuan sampai hari Kamis. Sedangkan pada hari Jumat kegiatannya berbeda setiap pekan dalam satu bulan. Jumat pekan pertama adalah sarapan bersama, pekan kedua literasi bersama di halaman sekolah, pekan ketiga senam bersama, dan pekan keempat kerja bakti atau Jumat bersih.

Khusus hari Jumat siang ada pembiasaan tambahan yaitu siswa laki-laki wajib melaksanakan salat Jumat di sekolah setelah jam pelajaran usai. Ini dilakukan karena konsekuensi logis sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013 dengan waktu belajar 5 hari per pekannya. Siswa baru terjadwal pulang pada hari Jumatnya pukul 11:40. Jika langsung dipulangkan, para siswa tidak punya waktu cukup untuk salat Jumat di masjid sekitar rumahnya.

Sementara itu, siswa perempuan, pada waktu yang sama, mengikuti jadwal kegiatan keputrian. Dalam kegiatan ini, siswa putri difasilitasi untuk mengeksplorasi wawasan tentang hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan masalah perempuan belia, remaja, serta dewasa. Bahkan mereka dimotivasi untuk berbagi masalah yang pernah mereka hadapi di rumah atau di sekolah. Kemudian guru pembimbing mengampu kegiatan dengan memoderasi mereka menemukan solusi-solusi efektif selaras dengan kontekstualnya peristiwa.

Hal ini dilakukan sebagai terobosan untuk mencegah kesalahsikapan serta kesalahperilakuan yang banyak dan agaknya tak disadari dilakukan oleh para perempuan belia, remaja, atau pun dewasa. Kesalahsikapan serta kesalahperilakuan ini ditengarai terjadi sebagai akibat dari keterbatasan pengetahuan serta pemahaman mereka tentang jati dirinya sebagai seorang perempuan.

Hal ini juga sebagai upaya mengaktualisasikan wawasan yang muncul dari pernyataan Erik H. Erikson bahwa “Kelemahan wanita tidak bersifat fisik. Kelemahan itu adalah ketika mereka “menyerah” dalam bukunya Childhood and Society, (2010: 309-3012)” Artinya, aktivitas keputrian ini juga dicita-citakan sebagai wahana yang didesain sebagai blueprint bagi penyadaran dan pemberdayaan perempuan agar tidak mudah “menyerah” dalam keadaan apa pun, pada keadaan kapan pun, pada keadaan di mana pun, dan dalam keadaan bagaimana pun. Perempuan disiapkan dengan pendidikan karakter agar menjadi generasi tangguh, tidak mudah “menyerah”. Perempuanlah yang melahirkan generasi baru yang lebih baik dan lebih berkualitas.

Dalam kegiatan keputrian ini, para remaja putri memperoleh pegalaman berbagi tentang bagaimana merawat dan menjaga diri saat memasuki masa akil balig. Mereka mengeksplorasi diri guna memahami hal-hal yang harus dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Mereka juga meperoleh gambaran dari proses berbabagi pengalaman dari para perempuan dewasa yang berpengalaman tentang bagaimana jika saatnya mereka kelak menjadi seorang Ibu. Ibu dari generasi baru yang mesti harus lebih baik dan lebih tangguh daripada generasi pada eranya kini.

Adapun kegiatan yang wajib diikuti oleh semua siswa muslim setiap hari adalah salat Dzuhur. Awalnya kegiatan ini berjalan seadanya, sesuai kesadaran siswa serta kesadaran guru dan tenaga kependidikan lainnya. Ada fakta yang dapat terekam bahwa ternyata banyak siswa yang cenderung menundanya karena berbagai alasan. Akhirnya tim manajemen sekolah terinspirasi dari realitas para siswa keseharian saat bersalat dengan mengambil inisiasi untuk membagi sesi salat Dzuhur menjadi dua.

Sesi pertama yaitu 20 menit awal durasi istirahat kedua, siswa laki-laki melaksanakan salat Dzuhur berjamaah dengan didampingi oleh guru laki-laki muslim. Sesi kedua, 20 menit durasi berikutnya, siswa perempuan giliran salat Dzuhur berjamaah yang tentu saja didampingi juga oleh guru perempuan muslimah. Selama menunggu giliran, para siswa dapat memanfaatkan waktu untuk makan dan atau minum di kantin sekolah yang terjaga higienitasnya.

Mulanya, memang harus dipaksa dengan komando lewat salon dari sentral ruang guru. Namun, dari hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, akhirnya para siswa terbiasa melakukannya dengan kesadaran yang terdampingi. Untuk salat Ashar, karena jam pelajaran di SMP Negeri 55 Surabaya berakhir pada pukul 14:40, setiap siswa diberi kemerdekaan untuk dapat melaksanakannya di rumah masing-masing, khususnya bagi yang telah dijemput pada awal jam kepulangannya. Namun, manajemen sekolah memfasilitasi salat Ashar berjamaah, khususnya bagi siswa yang masih menunggu jemputan dari para keluarganya.

Para guru dan tim manajemen sekolah mengawal pembiasaan salat ini agar semakin hari kualitas salatnya semakin baik. Dengan demikian, amanah Allah melalui pesan “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”. (QS:029-Al Ankabut:045) dapat diimplementasikan dalam peri kehidupan keseharian.

Dengan melakukan aktivitas pembiasaan religius tersebut di atas setiap hari secara istiqamah, Insya Allah bisa mengurangi atau bahkan mengatasi masalah-masalah dinamika remaja yang semakin beragam dan marak terjadi. Proses pembiasaan pendekatan diri kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa merupakan proses peningkatan iman dan takwa sehingga remaja, siswa pada khususnya, akan berpikir dua atau tiga kali jika ingin melakukan ha-hal yang melanggar norma susila maupun norma agama yang mereka anut.

Dengan demikian bisa dipastikan bahwa pendidikan karakter melalui pembiasaan aktivitas religius sebagai langkah pencegahan tindakan kenakalan di kalangan remaja. Mengingat remaja sebagai generasi penerus yang perlu dipersiapkan dan dijaga agar bangsa dan negara Indonesia semakin jaya dan mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia ini.