Gerakan Literasi (Masih) Bisa Sepenuh Hati

Masih ingatkah kita dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS)? Bagaimana kabarnya? Masih berjalan dengan baik, berjalan di tempat atau bahkan sudah tidak berjalan sama sekali? Penerapan Gerakan Literasi Sekolah yang masih belum sepenuh hati mengusik hati penulis, yang juga seorang guru untuk sekedar berbagi keluh kesah atas praktik GLS yang terjadi selama ini.

Teringat kegiatan Oktober 2018. Saat itu penulis beserta tim sekolah mengikuti Festival Literasi Sekolah (FLS) di Gedung A ruang Insan Berprestasi Kemdikbud Jakarta. Berbagai sekolah dan instansi dari seluruh Indonesia memamerkan penerapan praktik baik literasi beserta produknya di stand pameran mereka. Bangga bercampur resah. Bangga karena dapat menunjukkan praktik baik dalam berliterasi di sekolah dengan berbagai kekurangannya. Bangga karena di panggung utama Ibu Pratiwi Retnaningdyah, Ph.D dari Unesa yang juga satgas literasi menyebut nama sekolah kami sebagai sekolah yang literasinya sudah berjalan dengan baik. Namun, perasaan resah muncul ketika praktik GLS yang telah disampaikan sepenuhnya belum sesuai dengan kenyataan. Keadaan ini sangat mungkin juga terjadi di sekolah lain.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Beberapa sekolah mengaku telah menjalankan Gerakan Literasi sekolah melalui pembiasaan 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai. Pertanyaannya, ketika siswa membaca, apakah guru juga membaca? Bagaimana dengan Kepala Sekolah, karyawan, petugas kebersihan dan keamanan sekolah? Bukankah contoh lebih bermakna daripada seribu nasihat? Gerakan Literasi Sekolah telah berubah menjadi Gerakan Literasi Siswa. Karena ini Gerakan Literasi Sekolah, idealnya semua warga sekolah mulai dari Kepala Sekolah, guru, karyawan, dan siswa melakukan hal yang sama. Alangkah indahnya jika pemberian waktu 15 menit membaca dimanfaatkan oleh semua warga sekolah dengan benar-benar membaca. Sejenak menghentikan kegiatan lain untuk membaca bersama. Tidak lama kok, hanya 15 menit saja. Kegiatan ini akan semakin indah jika saat membaca disertai dengan sajian musik santai yang diputar melalui pengeras suara dari pusat.

Proses pembiasaan 15 menit membaca yang tidak alamiah sangat berpengaruh terhadap hasil penugasan siswa. Ketika siswa ditargetkan untuk membaca minimal 10 buku dalam satu semester dan meresensi buku yang telah mereka baca, pertanyaannya adalah, apakah siswa melaksanakannya dengan jujur? Kebanyakan siswa mengambil jalan pintas dengan salin rekat atau copy paste tulisan orang lain sebagai bahan untuk meresensi buku yang telah mereka baca. Pembiasaan yang belum sepenuh hati berdampak pada ketahanan membaca siswa. Jika praktik salin rekan terus berlangsung, secara tidak langsung kita berperan dalam praktik penjiplakan atas karya orang lain atau plagiarism. You should learn from your competitor but never copy. Copy and you die. – Jack Ma.

Seperti apapun potret literasi di sekolah kemarin dan hari ini, masih dapat disempurnakan esok hari.  Penguatan enam literasi dasar yang meliputi literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan memang harus dilakukan secara bersama-sama. Komitmen semua warga sekolah dalam berliterasi sangat diperlukan dalam pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah, karena ini bukan Gerakan Literasi Siswa. Kita mampu karena mau, kita bisa karena terbiasa. Oleh karenanya, penulis sangat optimis bahwa gerakan literasi masih bisa sepenuh hati.