Merdeka Belajar: Saatnya Guru Menteorikan Praktik

Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kata “Merdeka Belajar?” Mungkin sebagian besar dari kita mengartikan secara sederhana dengan kata “Bebas belajar”. Pertanyaan kritis berikutnya kemerdekaan belajar bagi siapa dan seberapa besar porsi kemerdekaannya? Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata “Merdeka” berarti leluasa, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Arti ini sepertinya sudah cukup jelas untuk memaknai istilah “Merdeka Belajar.”

Berkaitan dengan konsep “Merdeka Belajar” dari sisi guru, penulis yang juga seorang guru bahasa Inggris sangat tergerak untuk mengungkapkan isi hati yang sebenarnya sudah lama terpendam dalam benak penulis. Apa itu? Jawabnya yaitu ketergantungan guru dalam menggunakan metode pembelajaran milik “orang lain”. Penulis beranggapan beberapa metode pembelajaran yang sudah ada dan ciptaan para ahli beberapa masa yang lalu apa masih relevan dengan pembelajaran sekarang? Dalam masa merdeka belajar dimana guru lebih bebas “meramu” skenario pembelajarannya, apa tidak lebih baik jika guru menentukan atau bahkan membuat metode pembelajaran “ala saya?”

Sedikit pembuka wawasan, menurut Wikipedia, metode adalah cara atau teknik melakukan sesuatu. Jadi metode sebenarnya lebih kepada cara bukan tujuan. Dalam pembelajaran, orientasi mana yang lebih utama, ketercapaian tujuan pembelajaran atau terpakainya metode pembelajaran? Apabila pembelajaran berorientasi pada ketercapaian indikator atau tujuan pembelajaran, pertanyaan kritis berikutnya adalah siapa yang lebih paham tentang cara mencapai tujuan pembelajaran, guru atau orang lain yang membuat metode?

Senada dengan Wikipedia, Kumaravadivelu (2006) menyatakan: “A method implies an orderly way of going about something, a certain degree of advance planning and of control, then; also, a process rather than a product”

Dari kutipan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa metode merupakan serangkaian cara, yang lebih menekankan pada tahapan rencana daripada hasil. Satu wawasan yang penulis coba untuk sampaikan pada rekan guru adalah, metode pembelajaran cuma “sekedar” cara untuk mencapai tujuan atau indikator pembelajaran. Penulis sangat yakin bahwa bapak ibu guru lebih hebat dalam menentukan metode atau cara sendiri, tanpa memakai metode orang lain atau metode para ahli sekalipun, karena gurulah yang lebih paham akan kondisi siswanya, bukan ahli pembuat metode. Apa boleh seperti itu? Jawabnya, sangat boleh, kan Merdeka Belajar.

Dalam pembelajaran bahasa Inggris, metode pembelajaran sebenarnya sudah berada pada titik ujung, dimana sudah tidak muncul lagi metode baru, atau dinamakan Post method pedagogy. Kondisi ini muncul mulai awal abad 19 hingga akhir abad 20 karena munculnya beberapa metode pembelajaran sejak tahun 1970an hingga 1980an yang dinilai kurang bersifat universal. Post method pedagogy membuka angin segar dalam pembelajaran bahasa dengan menerapkan metode gabungan atau eklektik atau bahkan self-method atau metode buatan sendiri, untuk penerapan pembelajaran sendiri. Semangat Post method pedagogy sepertinya senafas dengan konsep merdeka belajar yang dicetuskan oleh Mas Menteri Pendidikan, Bapak Nadiem Anwar Makarim. Konsep yang sederhana, namun akan berdampak luas dalam dunia pendidikan.

Alangkah indahnya jika dalam metode pembelajaran terjadi adopsi dan adaptasi. Sebagai contoh Pak Puji mengajar materi mendeskripsikan obyek dengan self-method yang bernama Hot Spin. Metode ini dijalankan dengan menggunakan potongan lagu yang dikenal siswa atau lagu yang lagi viral. Pada pelaksanaannya, siswa mengoper bola yang disertai dengan iringan musik dangdut. Ketika musik berhenti, siswa yang mendapat bola harus mendeskripsikan obyek yang ada di layar monitor. Dijamin pembelajaran akan ramai. Pada penerapannya, Bu Listya dari sekolah lain bisa mengganti musik dangdut dengan musik Korea karena kebanyakan muridnya lagi deman Korea. Bu Uswatun memodifikasi penggunaan bola dengan kertas bekas yang dikepal menyerupai bola. Bu Uswatun sekaligus mengajarkan siswa untuk melakukan 3R (reduce, reuse, and recycle). Di sekolah lain, Pak Laufan menerapkan metode Hot Spin pada materi activity in progress dengan sedikit modifikasi pada langkah pembelajarannya. Dapat dibayangkan, satu metode bisa kaya rasa!

Dalam hal diseminasi, satu guru dapat membuat satu praktik baik atau best practice metode pembelajaran ala saya yang nantinya akan disampaikan dalam diskusi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) wilayah. Hasil diseminasi bisa diterbitkan dalam buku bertajuk “Metode Pembelajaran ala Saya.” Keren kan? Satu lagi, setiap metode dalam buku itu sangat memungkinkan untuk dimodifikasi oleh guru lain. Tentu saja melalui proses membaca berbagai referensi. Percepatan keberhasilan berinovasi perlu ada strategi. Inovasi yang berhasil perlu dilakukan secara mendasar yang mencakup kemampuan untuk mengumpulkan ide dan keahlian dari berbagai sumber (Wolpert, 2002). Jadi proses adopting dan adapting sambil berliterasi. Sebagai hasilnya, metode dalam buku “Metode pembelajaran ala saya” yang jumlahnya terbilang sekarang sudah bermutasi menjadi tak terbilang. Tidak hanya beraneka rasa, tetapi juga beraneka warna.

Mumpung masih merdeka belajar. Waktunya guru berubah dan berdaya. Bagaimanapun setiap pribadi guru akan berkembang dengan potensi diri, bukan dengan salin rekat milik orang lain. Siswa kreatif berawal dari guru yang inovatif. Guru lebih paham kondisi siswanya, maka dari itu gunakan metode pembelajaran ala saya. Saatnya guru menteorikan praktik bukan hanya mempraktikkan teori. “You should learn from your competitor, but never copy. Copy and you die.” – Jack Ma

Daftar Pustaka
Kumaravadivelu, B. (2006). Understanding Language Teaching: From Method to Post Method. London: Lawrence Erlabaum Associates.
Wolpert, J. D. (2002). Breaking Out of the Innovation Box. Harvard Business Review, (August), 3–8.

Sumber Online:
https://kbbi.web.id/merdeka
https://wikipedia.org

Bionarasi:
Anton Setiawan, S.S., M.Pd adalah guru bahasa Inggris di SMP Negeri 26 Surabaya yang tertarik dengan istilah “Out of the box.” Penulis juga masih dalam tahap belajar menulis dan belajar untuk menggali ilmu sedalam-dalamnya. Everlasting learning.