Guru “Sakti” di Era Revolusi Industri 4.0

Pada tanggal 4-6 April 2018, Ujian Nasional (UN) jenjang SMA/SMK/MA telah dilaksanakan. UN tahun ini  menjadi berbeda dengan UN sebelumnya. Mengapa demikian? Karena UN tahun ini harus terhindar dari adanya gosip  “tim sukses”  yang identik dengan ketidakjujuran. Sebaliknya UN tahun ini harus lebih memunculkan indek integritas sekolah. Tim sukses tahun ini harus identik dengan kejujuran UN dengan  wajah baru gerakan kolektif menuju UN yang jujur. Integritas kolektif warga civitas akademika sebaiknya menjadi skala prioritas dalam setiap UN.

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)  ada  5 daerah yang memiliki Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) tertinggi untuk matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yaitu: Kota Yogyakarta, DIY 82,37%; Kabupaten Pangkalpinang, Bangka Belitung 81,32%; Kota Magelang, Jawa Tengah 81,26%; Kabupaten Belu, NTT 80,61%, dan terakhir Kabupaten Kaimana, Papua 80,37%. Bila kita perhatikan dari data Kemdikbud di atas nampak dengan jelas bahwa IIUN di Gorontalo tidak masuk urutan  tersebut. Padahal IIUN menjelaskan tentang sisi kejujuran dan mentalitas kolektif setiap sekolah.

Demi perbaikan dan citra integritas kejujuran sekolah di Gorontalo sebaiknya  pada tahun  ini IIUN Gorontalo meningkat lebih baik.  Semoga tidak ada lagi  “pesanan” dari para kepala daerah dan kadisdik tentang pentingnya kelulusan 100% melainkan berubah paradigma tentang pentingnya IIUN. Kejujuran lebih manusiawi dibanding kelulusan, kejujuran lebih menjelaskan keberhasilan pendewasaan siswa dibanding kelulusan. Agar habituasi kejujuran dan suksesnya kelulusan  akademik di sekolah berjalan normal dan istimewa maka dibutuhkan guru-guru  yang “Sakti”.

Guru sakti  adalah guru yang sehat, agamis, kompeten, terampil, kreatif dan inovatif. Guru adalah kunci dari suksesnya membangun karakter siswa.  Pribadi dan sosok yang paling dekat dan  hampir setiap hari bertemu dengan siswa adalah guru. Kepala daerah, kadisdik bahkan kepala sekolah tidak sedekat guru dalam mendidik dan mengajar siswa. Mengingat realitas kedekatan ini maka kehadiran  guru ”sakti” adalah sangat penting.

Guru sehat adalah guru yang berbadan sehat dan mengagungkan akal sehat, segala hal ketidakjujuran tak pernah terlihat dari dirinya. Ia menggiring siswanya sehat dalam segala hal, termasuk dalam kejujuran UN. Guru agamis adalah guru yang menjunjung tinggi  ajaran agama yang dianut dan memperlihatkan keteladanannya. Guru agamis  akan mengutamakan kejujuran dibanding kelulusan karena proses yang baik lebih penting dari hasil yang diperoleh siswa.

Selanjutnya guru kompeten adalah guru yang memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan siswanya. Secara formal guru kompeten identik dengan kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Guru kompeten  akan menularkan seluruh potensinya sehingga  tidak perlu lagi siswa berbuat tidak jujur termasuk dalam UN. Guru tidak kompeten akan melahirkan generasi tak kompeten maka bila UN menyontek bisa jadi karena guru tidak kompeten dalam mengajari pengetahuan.

Guru terampil dan kreatif saat ini semakin dibutuhkan. Bukankah setiap siswa harus memiliki  beragam keterampilan? Terampil menulis, membaca, olah raga, seni, keagamaan, bidang IPA, IPS dan bidang lainnya harus dimiliki para siswa karena keterampilan adalah  bagian dari kesuksesan proses pendidikan. Siapa yang terampil dalam sesuatu dan mendalaminya secara serius maka Ia akan menjadi ahli dan bahkan menghasilkan uang. Keterampilan adalah potensi yang dapat menjadi masa depan seseorang. Guru yang memiliki keterampilan tertentu dan mampu ditularkan pada siswanya akan menjadi bagian dari bekal hidup siswanya pada masa yang akan datang.

Keterampilan guru terutama dalam menguasai teknologi sangat diutamakan karena anak-anak di era sekarang sangat menguasai gadget. Ketika anak diberi tugas rumah, cukup dengan mengakses melalui gadget yang mereka miliki dapat memperoleh tugas-tugas yang diminta guru. Dengan demikian guru harus lebih terampil dari siswa. Yang sangat disayangkan masih ada guru yang belum dapat mengoperasikan komputer yaitu guru yang sudah di atas usia 50 tahun.

Di era revolusi industri 4.0 ini, hampir semua aktivitas dapat dilakukan dengan teknologi. Siswa melakukan praktikum kimia, fisika, biologi misalnya, itu dapat dilakukan dengan “Smart Board” tanpa harus menyiapkan bahan-bahan yang harus di bawa ke laboratorium. Praktikum yang dilakukan anak-anak di dalam kelas yang menggunakan Smart Board tidak membahayakan namun butuh guru yang terampil dan cerdas dalam menuntun siswa untuk melakukan praktikum tersebut.

Praktikum dapat dilakukan jarak jauh secara terpusat dengan satu instruktur ke sekolah lainnya yang memiliki Smart Board. Pembelajaran yang menggunakan buku-buku Kurikulum 2013 yang terdiri dari beberapa mata pelajaran pada beberapa tingkatan kelas dapat disederhanakan dengan adanya Smart Board tersebut. Dengan demikian guru harus terampil mengoperasikan komputer, terampil menulis, dan terampil dalam pembelajaran. Kunci semua itu adalah guru harus banyak membaca.

Terakhir pentingnya guru yang inovatif.  Guru yang inovatif akan selalu melahirkan pengetahuan dan alternatif-alternatif baru dalam dunia pendidikan. Kemajuan zaman yang semakin serba berubah menuntut kemampuan inovasi para guru agar mampu memberi jawaban atas berbagai kemandegan dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah tidak perlu. Terobosan-terobosan baru yang mampu menyegarkan dunia pendidikan sangat diperlukan. Bukankah pendidikan  modern hari ini awalnya adalah pendidikan yang tradisional? Namun dengan adanya inovasi-inovasi pendidikan dan diikuti oleh para guru dalam ruang kelas menjadi lebih dinamis. Guru harus inovatif agar pembelajaran tidak menjenuhkan, melelahkan dan dapat memberi gairah baru  bagi para siswa.