CORONA MEMBAWA BERKAH

        Siapa yang tidak kenal dengan Virus Corona? Semua penghuni planet ini pasti mengenalnya. Virus yang dikenal dengan Covid-19 ini seakan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi, hal itu tidak sepaham dengan anggapan penulis, seorang guru bahasa Inggris yang menilai Corona membawa berkah, khususnya dalam pembelajaran.

        Corona membawa berkah. Kok bisa? Bagi penulis virus itu membawa angin segar terhadap tercapainya keinginan penulis atau bahkan guru-guru lain dalam pembelajaran. Apa itu? Jawabnya adalah keinginan untuk menghadirkan teknologi di dalam pembelajaran atau lebih spesifiknya mengijinkan siswa membawa gawai atau Hand phone (HP) atau gadget di kelas. Keinginan ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan selama ini. Gawai dianggap menjadi masalah tingkat dewa apabila dihadirkan di dalam kelas atau dalam pembelajaran. Saat pandemik Corona dan siswa diharuskan belajar di rumah, guru rame-rame beralih ke pembelajaran berteknologi. Siswa memakai gawai untuk belajar dan mengerjakan tugas dari guru. Anehnya, guru yang menganggap gawai “berbahaya” bagi siswa seolah sudah tidak muncul lagi saat wabah Corona. Jadi gawai atau HP atau gadget bahaya atau tidak ya bagi siswa?  Coba kita tarik nafas dalam-dalam dan renungkan bersama.

        Sahabat rosul, Sayyidina Ali berkata “Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan pada zamanmu.” Ungkapan sederhana ini serasa menampar penulis untuk selalu update dalam perkembangan zaman dan merasa berdosa ketika tidak dapat bersinergi dengan kebutuhan siswa pada zaman ini. Kalau begitu yang benar guru harus mengikuti zaman siswa atau siswa yang harus mengikuti zaman bapak ibu guru? Mossberger, Tolbert, & Mcneal (2008) menegaskan bahwa anak sekarang merupakan Digital Citizen atau warga masyarakat yang selalu menggunakan internet dalam kehidupannya untuk berbagai kepentingan. Mereka mengenal internet sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan. Mereka sangat paham dengan internet. Hal ini sangat bertolak belakang dengan zaman bapak ibu guru yang bisa dikatakan sebagai Digital Guest atau tamu di zaman internet yang mengharuskan untuk menyesuaikan diri dan belajar untuk berinteraksi dengan internet.

        Satu hal yang membuat hati penulis “berontak” dengan larangan siswa membawa gawai di sekolah adalah ketidakmanfaatan ilmu. Pemerintah mendorong guru untuk mengembangkan diri melalui berbagai pelatihan tentunya bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru dalam mengajar yang berimbas pada pembelajaran yang bermakna untuk siswa. Di zaman teknologi seperti sekarang, pembelajaran diarahkan untuk memanfaatkan teknologi sebagai sumber belajarnya. Guru pada umumnya dan penulis pada khususnya sangat antusias ketika mendapat materi pembelajaran interaktif dengan memanfaatkan teknologi. Tapi apakah itu bermanfaat untuk siswa? Jawabnya T-I-D-A-K. Antusiasme guru dalam pelatihan tidak berlanjut dalam pembelajaran karena adanya larangan siswa membawa gawai di sekolah. Guru mendapat banyak sertifikat pelatihan beberapa puluh jam dengan predikat baik, tapi siswa dapat apa? Keadaan ini berlanjut dan terus berlanjut. Alhasil, guru kembali mengajar secara konvensional.

        Pernahkah Anda mendengar ungkapan kalau siswa membawai gawai di kelas, nanti pembelajaran akan terganggu karena siswa akan lebih sibuk dengan gawainya daripada memperhatikan gurunya? atau mungkin kalau siswa membawa gawai di sekolah akan dipakai untuk mengakses konten-konten negatif? Nah, siswa lagi kan yang salah? Mengapa kita tidak mencoba untuk berkhuznudhon atau berbaik sangka daripada selalu ber su’udzhon atau berburuk sangka? Kita juga tidak perlu merasa kawatir yang berlebihan. Peale (2003, 132) menyatakan bahwa:

You do not need to be a victim of worry. Reduced to its simplest form, what is worry? It is simply an unhealthy and destructive mental habit. You were not born with the worry habit. You acquired it. And because you can change any habit and any acquired attitude, you can cast worry from your mind.

Dari pernyataan diatas dapat ditarik benang merah bahwa kita tidak perlu menjadi korban kekhawatiran karena rasa khawatir dapat menurunkan psikologis seseorang. Mau sampai kapan kita mencurigai siswa akan mengakses konten negatif jika mereka membawa gawai ke sekolah?

        Jadi solusinya bagaimana? rasanya tidak adil kalau hanya mengkritik tanpa memberi solusi. Baiklah. Pertama ubah mindset kita bahwa gawai tidak baik untuk siswa. Pisau yang tajampun akan menjadi sangat bermanfaat kapanpun dan dimanapun jika kita paham cara memakainya. Idealnya para guru meng-update aplikasi, strategi dan materi mengajar yang menarik dan diterapkan untuk siswanya. Orangtua juga menunjukkan cara berinternet secara sehat kepada putra-putrinya. Dengan demikian anak akan kaya dengan konten edukatif sehingga secara perlahan anak akan memahami pentingnya gawai. Yang terjadi sekarang sangat kontradiksi, dimana guru antipati terhadap gawai di sekolah dan orang tua juga melarang gawai di rumah. Percayalah, semakin anak dilarang, maka mereka akan semakin kemas atau kepo maksimal. Alhasil, mereka akan cari tahu sendiri dari sumber yang kita tidak dapat mengontrolnya.

        Dengan mewabahnya Corona setidaknya masyarakat, orang tua dan para guru tahu bahwa gawai bermanfaat untuk pembelajaran anak. Gawai sudah menjadi kebutuhan anak sebagai Digital Citizen, bukan kita yang sebagai Digital Guest. Semoga setelah pandemik Corona berakhir, ada angin segar berupa kebijakan yang mengijinkan siswa membawa gawai,di sekolah, tentu saja dengan disertai aturan yang jelas dan tegas. Intinya adalah guru dan siswa dapat menghadirkan teknologi di kelas. Titik. Semoga harapan tidak tinggal harapan dan Corona benar-benar membawa berkah.

Daftar Pustaka

Mossberger, K., Tolbert, C. J., & Mcneal, R. S. (2008). Digital Citizenship. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.

Peale, N. V. (2003). The Power of Positive Thinking. New York: Fireside.

https://generasi-muslim-aswaja.blogspot.com/2018/01/3-cara-mendidik-anak-menurut-sayyidina.html