Pendidikan yang Adil dan Beradab

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin*

Beberapa hari yang lalu dunia pendidikan Indonesia sempat dikejutkan dengan kasus pembunuhan yang menimpa siswa kelas 6 SD di Kabupaten Garut. Ditemukan sebuah luka sabetan benda tajam sejenis gunting pada belakang kepala siswa berinisial FNM. Anak berusia 12 tahun ini diduga tewas di tangan teman sekelasnya berinisial HKM sebab pertikaian hal sepele. Berdasarkan penuturan Kapolsek Cikajang AKP Cecep Bambang kepada para wartawan, FNM tewas di tangan HKM karena sebuah perkelahian, diduga hal ini dipicu karena awalnya buku sang pelaku hilang dari mejanya lalu menuduh korban sebagai pencuri bukunya sehingga menimbulkan pertikaian dan berujung kematian. Menurut beberapa informasi, kejadian ini berlangsung setelah jam sekolah usai namun lokasi pembunuhan berada sekitar area belakang sekolah.

Kasus pembunuhan seperti ini tidak layak diperankan oleh seorang anak SD yang notabene di bawah umur baligh dan kematangan berfikir yang belum sempurna. Lalu siapa yang seharusnya dipersalahkan? Pembunuhan di mata hukum merupakan sebuah tindak pidana, namun tidak bisa dipersamakan selayaknya subjek hukum dewasa karena keterampilan, kemampuan dan pengetahuan seorang anak akan matang di usia yang berbeda-beda.

Pelaku pidana di bawah umur perlu dilakukan upaya diversi sebelum masuk kepada pengadilan. Jika mengacu kepada Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, maka kejadian seperti ini tidak hanya menjadi tanggungjawab sekolah. Pemerintah perlu menentukan sikap proporsional terhadap hak siswa untuk memenuhi perlindungan hukum, hak pendidikan, dan pemulihan yang dilakukan sekolah. Keputusan haruslah mengutamakan keadilan restoratif sesuai tingkat kekerasan yang dilakukan.

Sikap Kemendikbud untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan oleh sekolah dan pemerintah daerah haruslah ditunaikan secara serius. Kendatipun Kemendikbud sudah turun, namun kewaspadaan munculnya kasus serupa harus tetap diantisipasi. Sebab pembentukan karakter siswa dapat terpolarisasi karena pengaruh lingkungan di luar sekolah, maka peran orang tua dan keluarga sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian anak.

Potret buram pendidikan Indonesia selayaknya menjadi bahan evaluasi bagi praktisi pendidikan kedepannya. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 ditetapkan bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berkembangnya potensi diri yang optimal. Secara paradigmatik tujuan ini harusnya sudah tertanam pada para pendidik Indonesia, terutama penguatan dasar agama sebagai pondasi utama demi melahirkan pelajar yang beriman dan bertakwa. Output yang mulia itu hendaknya serius direalisasikan agar tidak melenceng dari pencapaian yang ideal.

Tidak dipungkiri pula bahwa orangtua dan keluarga memegang peran penting agar menyediakan waktu berkualitas bagi anak-anaknya. Tak heran jika ada syair mengatakan ‘al-ummu madrosatul ula’, ibu adalah madrasah pertama, siapa lagi kalau bukan untuk anak-anaknya. Rumah adalah sepertiga dari lingkungan yang mempengaruhi terbentuknya karakter anak, selain lingkungan sekolah dan tempat bermain anak. Salah satu caranya dengan mengadakan Parenting Program oleh guru agar capaian pendidikan yang selama ini ditempuh di sekolah dapat diselaraskan dengan lingkungan rumah sebagaimana tujuan pendidikan ideal.

Sikap saling mengontrol perlu ditumbuhkan di luar sekolah manakala lingkungan masyarakat akan menjadi proses pendidikan sepanjang hayat. Memperbaiki pola asuh keluarga merupakan hal yang penting. Sebab, banyak keluarga saat ini yang semula extended family cenderung ke arah nuclear family. Termasuk memilih lingkungan masyarakat yang baik bagi anak, karena sebagian dari nilai-nilai agama dan tradisional masyarakat saat ini cenderung berubah menjadi masyarakat modern yang bersifat permissive society. Terkadang orangtua kurang jeli untuk membentengi anak dari akulturasi budaya yang tidak sejalan dengan tujuan pendidikan ideal.

Transformasi pendidikan untuk menanamkan etika moral bersosial dan beragama adalah hal yang dibutuhkan anak di era disruptif seperti sekarang, dimana era yang memiliki arus perubahan yang konstan, cepat dan masa depan yang tak terduga. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dirasa belum cukup efektif direalisasikan. Untuk itu memberikan kepedulian lebih kepada anak didik adalah prioritas utama dalam mengatasi gejolak psikologis anak-anak masa milenial saat ini.

Mengajarkan sikap dan adab menuntut ilmu agar terbentuk pada anak didik memang tidaklah mudah, butuh kedisiplinan dan kesadaran hati yang diawali dari seorang panutan yakni guru. Pengajar terbaik mampu memberikan Great Learning Experience bagi anak didiknya, tidak cukup belajar hanya karena kejar tayang target kurikulum setiap kelasnya. Guru harus mampu memberikan porsi pendidikan seimbang bagi tiga lingkungan hidup siswanya: sekolah, rumah, dan tempat bermainnya.

*) Penulis, Guru SD Plus Bakti Nusantara 666, Bandung