Membangun Generasi Literat

Merosotnya omzet penjualan buku umum merupakan persoalan yang saat ini dikeluhkan oleh para penerbit buku di tanah air. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia serta pesatnya perkembangan teknologi digital menjadi penyebab utama lesunya industri penerbitan dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu minimnya ketersediaan infrastruktur menjadi kendala tersendiri bagi penerbit dalam mendistribusikan produknya ke seluruh daerah. Ancaman gulung tikar pun senantiasa membayangi mereka yang tengah berjuang keras untuk mencerdaskan bangsa yang besar ini.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat Mahpudi saat memberikan pemaparan tentang perkembangan perusahaan penerbitan beberapa waktu lalu. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Ikapi pada tahun 2015 lalu, terungkap bahwa jumlah penjualan buku umum mengalami penurunan hingga 4 persen. Kondisi ini dikhawatirkan akan semakin memburuk seiring menurunnya daya beli masyarakat serta (masih) rendahnya penghargaan terhadap para penulis buku. Ikapi pun mengusulkan adanya kebijakan strategis dari pemerintah apabila ingin menjadikan buku sebagai sarana untuk membangun peradaban.

Dalam pandangan penulis, apa yang disampaikan oleh Ketua Ikapi Jabar tersebut pada dasarnya lebih disebabkan oleh paradigma yang selama ini dianut oleh masyarakat. Buku kerap kali diidentikkan dengan lingkungan pendidikan seperti sekolah maupun tempat kuliah. Adapun bagi mereka yang berada di luar lingkungan tersebut, buku “belum” dipandang sebagai suatu hal yang penting. Tak heran apabila Indeks Pembangunan Manusia (SDM) Indonesia pun selalu tertinggal jauh dari negara-negara lainnya sekalipun bangsa ini telah lebih dari 70 tahun merdeka.

Berbagai upaya untuk lebih mendekatkan buku kepada masyarakat sebenarnya telah lama digagas oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun sekolah. Namun, upaya untuk mecerdaskan bangsa tersebut sering kali tidak berjalan secara maksimal dan berkesinambungan akibat perbedaan “selera” setiap rezim dalam mengelola bidang pendidikan. Perpustakaan keliling yang pernah berjaya pada masa orde baru dan selalu dinanti kedatangannya oleh masyarakat di pelosok, kini hanya tinggal sejarah. Adapun Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang baru muncul beberapa tahun terakhir, belum begitu dirasakan dampaknya terhadap peningkatan budaya membaca di kalangan pelajar.

Untuk membangun generasi literat seperti yang diharapkan, diperlukan upaya komprehensip dan kerjasama dari berbagai pihak. Pemerintah hendaknya mampu memberikan penghargaan secara layak bagi mereka yang telah mendedikasikan hidupnya untuk membangun peradaban dengan menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Selain itu memberikan kemudahan bagi para penerbit dalam mendistribusikan buku-buku ke seluruh pelosok pun hendaknya dilakukan pemerintah dalam rangka membuka akses masyarakat terhadap ilmu pengetahuan. Memberikan diskon khusus bagi pengiriman buku dapat dilakukan pemerintah sambil menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan. Hal ini perlu dilakukan agar buku tidak lagi dianggap sebagai “barang mewah”.

Adapun sekolah diharapkan menjadi garda terdepan dalam menumbuhkan budaya membaca di kalangan remaja. Perpustakaan sekolah bukan saatnya lagi menjadi sarang “cakcak, cucunguk, lancah maung jeung sajabana” akibat jarang dikunjungi oleh siswa. Sebaliknya, perpustakaan sekolah sudah saatnya berperan sebagai jantung sekolah yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Posisi pustakawan hendaknya diisi oleh mereka yang benar-benar memiliki visi untuk membangun generasi literat, bukan “tenaga cadangan” yang hanya berperan sebagai pelengkap. Dengan demikian, diharapkan budaya membaca yang merupakan ciri khas pelajar dapat kembali melekat. Semoga.