PENDIDIKAN KARAKTER DIMULAI DARI GURU BERKARAKTER

Pendidikan karakter yang didengungkan pemerintah tampaknya hanya menyentuh siswa sebagai objek. Sementara guru ditempatkan sebagai subjek. Siswa harus dibiasakan dengan pengembangan budi pekerti sehingga karakternya baik. Permasalahannya, bagaimana guru-guru yang memberikan pendidikan karakter?  Apakah guru-guru yang memberikan pendidikan karakter sudah berkarater baik? Jika ia, ini artinya pendidikan karakter kita mengasumsikan karakter guru-guru kita sudah baik.

Kita cermati bagaimana karakter anak-anak didik kita sekarang? Sudahkah mencerminkan karakter baik gurunya? Sebuah ungkapan masyarakat Bali yang banyak dipakai untuk memberi nasehat, mempunyai makna yang sangat dalam. Kénkénang nyampat apang kedas, yen sampaté ané anggon nyampat misi tahi blék. Terjemahnnya secara bebas: bagaimana menyapu dengan bersih, kalau sapunya berisi tahi ayam”

Makna implisit yang terkandung di dalamnya adalah, ketika kita memberikan nasehat, mendidik, dsb., maka sebaiknya kita harus bersih dulu, paham, mengerti, dan menguasai apa yang menjadi isi nasehat tersebut. Kalau dianalogikan, Bagaimana kita mengerti dan belajar persatuan bangsa jika belajar dari orang yang justru ingin mendirikan negara sendiri di Republik ini? Dalam konteks guru berkarakter, pertanyaan yang patut direnungkan oleh seorang guru adalah, Bagaimana siswa dapat belajar karakter baik dari guru yang tidak punya karakter baik?

Bahkan sebuah tembang ginade yang di Bali sering dipakai menasehati kita, penuh dengan makna. Eda ngadén awak bisa, depang anaké ngadanin, geginané buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, hilang luhu ebuk katah, wiadin ririh, enu liu pelajahin. Terjemahan bebasnya adalah: jangan merasa diri pintar, biarlah orang yang tahu, seperti tugas menyapu, setiap saat kotoran/sampah itu ada, hilang sampah debu masih banyak, Meskipun pintar masih banyak yang harus dipelajari.

Seperti halnya menyapu, betapa pun bersihnya kita menyapu debu itu pasti tetap ada. Artinya, jikalau pun sapu yang kita pakai menyapu sudah bersih dan sampah sudah dibersihkan, tapi debu pasti akan tetap ada. Apalagi ketika sapu yang kita pakai menyapu tidak bersih atau bahkan berisi tahi ayam. Dapat dibayangkan kita tidak dapat menyapu dengan bersih, ketika sapu yang akan dipakai menyapu belum bersih. Dari hal ini dapat dimengerti bahwa untuk membangun sebuah karakter baik tidak begitu mudah seperti yang dibicarakan.

Mungkin bagi sebagian guru akan protes, mengapa guru harus berkarakter? Guru kan manusia biasa, tentu tidak akan sempurna. Bagaimana mungkin membuat siswa berkarakter dari guru yang tidak sempurna? Dan sederet pertanyaan serta argumen lainnya. Kita meyakini bahwa hanya Tuhan saja yang sempurna, oleh karenanya belajar kesempurnaan dari yang tidak sempurna adalah kemustahilan. Karena itu ketidaksempurnaan hasil tentu tidak relevan lagi jika dipakai sebagai alasan. Jadi dalam ketidaksempurnaan itulah guru harus menjadikan pendidikan menuju pendidikan yang berkarakter dan bermutu.

Kegiatan utama pendidikan adalah belajar. Belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan pun. Salah satu tempat belajar adalah sekolah. Para ahli memberikan pengertian yang beragam tentang belajar, karena aktivitas belajar sendiri juga bermacam-macam. Banyak aktivitas-aktivitas yang diperoleh hampir setiap orang berasal dari proses belajar, seperti mendapatkan perbendaharaan kata-kata baru, menghafal syair, menghitung, membaca, dll.

Dalam aktivitas belajar di sekolah tingkat kanak-kanak sampai tingkat atas, posisi guru adalah sebagai kunci terdepan dan sentral terlaksananya proses pembelajaran sebagai seorang pendidik dan mencetak bakal-bakal sember daya manusia. Oleh karena itu guru dituntut untuk profesional dalam tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta yang penting juga adalah guru mestinya memiliki karakter yang baik.

Dr. Uhar Suharsaputra, dalam bukunya “Menjadi Guru Berkarakter” yang diterbitkan Paramitra Publishing Yogyakarta, Agustus 2011, menyatakan bahwa Guru berkarakter sesungguhnya  bukanlah sesuatu yang bersifat to be or not to be, melainkan a process of becoming.  Guru yang berkarakter adalah guru yang siap untuk terus menerus meninjau arah hidup dan kehidupannya serta menjadikan profesi guru sebagai suatu kesadaran akan panggilan hidup. Guru berkarakter senantiasa berusaha dan berjuang mengembangkan aneka potensi  kecerdasan yang dimilikinya.

Dalam konteks ini menjadi guru berkarakter itu adalah suatu proses. Dengan demikian seorang guru dapat dengan cukup mudah untuk menilai dirinya apakah dia sudah menjadi lebih pekat konsentrasi berkarakternnya dibandingkan sebelumnya. Setelah sekian tahun menjadi guru, apakah dirinya memiliki karakter yang lebih baik dibandingkan ketika diawal mereka menjadi guru.

Untuk lebih memudahkan kita menilai proses perkembangan karakter, dapat digunakan konsep Sumbu Karakater X-Y. Sebuah sumbuh kartesius dengan sumbu X (ke arah mendatar) dan sumbu Y (ke arah vertikal). Artinya a process of becoming menjadi guru berkarater apakah bergerak ke sumbu Y positif, sumbu X positif, atau sebaliknya ke sumbu X negatif atau bahkan ke Y negatif. Seorang guru dapat menilai proses menjadi guru berkarakter secara kualitatif menggunakan sumbu X-Y.

Sebagai contoh seorang guru menilai bahwa setelah sekian tahun bertugas merasakan bahwa dirinya mempunyai karakter positif secara kuantitas maupun kualitas lebih dari sebelumnya, itu artinya karakter guru bergerak ke arah Sumbu Karakter Y positif. Tetapi jika karakter positifnya hanya berkembang kulitasnya saja itu artinya karakter guru berkembang ke arah ”sumbu X positif. Tetapi jika secara kuantitas dan kualitas guru merasa dirinya bahwa karakter baiknya berkurang dari sebelumnya, itu artinya karakter guru berkembang ke arah ”sumbu Y negatif.” Jika karakter baik guru berkurang secara kuantitas dari sebelumnya artinya karakter guru berkembang ke arah ”sumbu X negatif”.

Pertanyaannya sekarang adalah, Anda termasuk guru berkarakter X positif, X negatif, Y positif, atau Y negatif? Konsep ini ini tampaknya juga bisa dipakai oleh para orang tua. Setelah sekian lama menjadi orang tua, bagaimana kuantitas dan kualitas karakternya? Ketika kita berbicara dalam konteks pendidikan, maka kita berharap guru dan orang tua mempunyai karakter Y positif atau minimal X positif. Hal ini diyakini karena dari guru-guru dan orang tua inilah pendidikan karakter akan membuahkah hasil baik. Semoga.