Menjadi Guru Trans-Profesional = New Profesionalism

Menjadi Guru Trans-Profesional = New Profesionalism

Akhir-akhir ini, sering kita mendengan istilah, interdisipiner, multidisipliner bahkan transdispliner dan cross-disipliner dalam sebuah keilmuan. Begitu juga profesional, interprofeional dan transprofesional. Tahukah kita, sesungguhnya linieritas keilmuan seseorang apakah hanya sebatas itu? Istilah jawa ndoro ngabhei  sepertinya harus dipakai untuk menjawab apa itu Tran-profesionalitas. Maksudnya, bukan berarti semua kita ayahi, tetapi bagaimana korelasi antara satu disiplin ilmu dangn lainya digunakan untuk kacamata sebuah masalah sehingga menjadi pijakan keilmuan seorang pendidik menjadi holistik dan futuristik juga kirtis dan transformatif atas isu yang dibicarakan.

Kenyataan yang kita hadapi, orang dikatakan pakar adalah apabila telah mengusai bidang tertentu atau satu disiplin ilmu tertentu. Apakah sekarang hanya sebatas itu? Semisal seorang guru yang bergelar S1 dan telah memiliki pengalaman mengajar lama dan banyak karya serta melakukan banyak penelitian dan pengabdian apakah tidak boleh menjadi pakar? Apakah pakar itu hanya bagi mereka yang bergelar akademik guru besar? Kali ini kita mencoba memahami bagaimana dan apa yang kita sebut trans-profesionalitas.

Kita berangkat dari pengertian profesional, menukil dari KBBI kata profesional adalah memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, artinya seseorang jika dikatan profesional orang tersebut harus memiliki kompetensi tertentu dan mampu mengoprasionalkan. Dengan demikian profesional juga dapat diartikan orang yang ahli dalam bidangnya. Selanjutnya, apakah yang disebut trans-profesional secara sederhana bisa kita artikan orang yang memiliki lebih dari satu kompetensi yang dapat dioprasionalkan secara harmoni. Artinya melampauai profesional.

Selanjutnya kita mencoba mengulas salah satu contoh profesi yakni pendidik. Coba kita pahami kalimat ini “pendidik transprofesional dan pendidik profesional. Seorang pendidik trans-profesional tentu harus profesional terlebih dahulu. Mengapa demikian, karena menjadi pendidik trans-profesional harus dan wajib menjadi pendidik profesional agar kita tidak disebut ndoro ngabhei. Pendidik sejati khususnya guru, harus mampu mengajarkan, mengkolaborasikan pengatahuan lebih dari satu sudut pandang multi sudut pandang, guna mengkonstruk pengetahuan siswa secara holistik. Guru tidak sekedar mampu pada bidang profesionalnya tetapi wajib menyematkan profesionalitasnya dengan “profesi” yang lain. Guru masa depan, adalah guru yang mampu berpikir dan bertindak sekarang dengan konsep dan padanngan masa yang akan datang.

Guru tidak sekedar belajar konsep, tetapi belajar peradaban dan sistem nilai yang ada didalam lapisan masyarakat. Sehingga kosep-peradaban-budaya-dan kenyataan di lapangan manjadi sebuah satu kesatuan yang wajib dimiliki seorang guru dan ragam kompetensi juga harus diasah demi memandang sebuah kebenaran yang menyeluruh. Menjadi guru masa depan (guru sekarang) paling tidak memiliki sebutan atau melekat pada diri seorang guru yakni e-theacher, ed-tech chameleon (eduction technology), kolaboratif dan interaktif.

Mimpi baru sebuah profesionalitas. Semoga guru-guru kita tidak lelah untuk selalu belajar baik akademik maupun non akademik guna menjawab tantangan multi perspektif yang ada di dalam dunia pendidikan sekarang ini. Profesi guru “cukup tidak-kaya apalagi” adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, integritas seorang guru menjadi taruhan untuk mengartikan sebuah “profesionalitas”  dan menyambut new profesionalsm.

*Oleh : Moh. Ahsan Shohifur Rizal

GTT SMA Negeri 1 Kepanjen dan Pengelola SMA Terbuka Kepanjen