Dinamika Pendidikan dan Pembelajaran Abad XXI

DINAMIKA PENDIDIKAN DAN ORIENTASI PEMBELAJARAN ABAD KE- 21

Oleh: Yeni Sulistiyani, S.Pd.

 

 

Akhir-akhir ini, sering kita dapati adanya stigma menyalahkan lingkungan, menuding lembaga pendidikan (guru) yang selalu melahirkan kekejaman sosial  manakala terjadi kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan peserta didik maupun pendidik. Permasalahan tersebut kemudian secara terus menerus memicu pemangku kebijakan pendidikan berupaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan sampai pada penanaman pendidikan karakter bagi peserta didik. Kebijakan-kebijak

an tersebut kemudian melahirkan adanya revisi dan perubahan pada kurikulum. Semua itu demi perbaikan hasil pendidikan di Indonesia. Efektifkah atau justru melahirkan pekerjaan-pekerjaan baru yang berulang-ulang sebenarnya sama saja sehingga tidak menjadikan sebuah perubahan?

 

Anis Baswedan menyatakan bahwa proyeksi pendidikan abad ke-21 ada tiga komponen utama yang mendasar, yaitu karakter, kompetensi, dan literasi. Komponen karakter meliputi akhlak/moral ( beriman, bertaqwa, jujur, rendah hati) dan kinerja (kerja keras, tangguh, tak mudah menyerah, dan tuntas). Komponen  kompetensi, yaitu berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Komponen  literasi/keterbukaan wawasan yang meliputi literasi baca, literasi budaya, literasi teknologi, dan literasi keuangan.

Menjadi pengelola institusi pendidikan hendaknya tidak lagi terpukau dengan cerita masa lalu, gelisah terhadap masa depan, gelisah terhadap sekolah-sekolah terbaik dunia hari ini, jangan puas dengan melihat masa lalu sekolah kita sudah seperti ini. Semua itu dipersiapkan di ruang-ruang keluarga dan di ruang-ruang kelas.

 

Ada sebuah pernyataan yang saya kutip dalam sebuah perbincangan santai dengan Profesor Erry Amanda (2018) yang menyatakan, “Pintu ditendang anak kecil hancur bukan karena hebatnya tendangan anak kecil namun pintu tersebut sudah rusak sebelumnya.” Pernyataan ini sederhana namun sesungguhnya memiliki makna begitu luas dan membangun kesadaran bagi kita. Seorang remaja putri dan putra –dini hari masih berkeliaran di jalanan, pertanyaannya—adakah lingkungan/sekolah memberikan hak kebebasan dan bertanggung jawab atas pembiaran tersebut? Ada pula realita perilaku para remaja laki-laki dan perempuan –pukul 07.00 masih tidur berserakan di jalanan. Apakah semata adalah kesalahan lembaga pendidikan (sekolah)? Kekejaman sosial lembaga pendidikan yang terjadi bukan saja terhadap guru namun murid pun sering menjadi kurban amuk rasa sampai merenggut nyawa. Ujung-ujungnya, masing-masing harus membasuh wajah moral masing-masing dari seluruh aspek kehidupan ini. Blind justice (hukum rimba) harus dihentikan. Inti dari pernyataan tersebut adalah bahwa rusaknya tatanan moral bagi anak-anak bukan semata-mata disebabkan oleh lingkungan atau sekolah. Sementara lingkungan atau sekolah juga berisikan anak-anak kita—maka siapa pun harus menyadari bagaimana sikap dan perilaku orang tua dalam memberikan pembelajaran—kepada putra-putrinya. Awal pintu rumah adab adalah keluarga.

Baru-baru ini, saya mengisi materi Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) yang diselenggarakan institusi pendidikan dalam setiap tahun pelajaran baru bagi peserta didik baru. Istilah baru Masa Orientasi Siswa (MOS) diperbaharui menjadi Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) diharapkan menjadikan masa-masa barunya pembelajaran bagi peserta didik baru lebih bermartabat mengingat MOS selama ini identik dengan perploncoan. Apapun namanya ketika kita menghayati makna orientasi yang bermartabat dan berkemanusiaan maka nama tidak menjadi persoalan hanya dasar-dasar sistem yang menyenangkan dan mendidiklah yang semestinya di kedepankan.

 

Di dalam pelaksanaan Pengenalan Lingkungan Sekolah Menengah Pertama (PLSMP) tersebut, saya menemukan keunikan terhadap peserta didik. Peserta didik yang baru lulus dari Sekolah Dasar (SD) telah mengecat warna rambutnya dengan warna kuning. Sebuah perilaku ketika masuk ke dalam lembaga sekolah sudah dicatat sebagai sebuah bentuk pelanggaran siswa yang sebenarnya pembiaran  itu sudah diawali dari pintu rumah adap yang pertama, yaitu keluarga.

 

Ruang keluarga dalam hal ini adalah orang tua berkewajiban menyadari bahwa pembentukan karakter (moral, akhlaq, budi pekerti, dan kinerja yang membebaskan anak-anak kita dari kemalasan untuk mendayagunakan seluruh potensi diri untuk berusaha) sebagai pintu gerbang ketika anak-anak pada akhirnya dilepaskan pada lingkungan masyarakat budaya maupun masyarakat pendidikan. Keluarga sebagai pintu gerbang kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif) semestinya dapat secara sadar untuk memaksimalkan  seluruh kompetensi anak-anak di dalam ruang-ruang keluarga. Komunikasi yang dijalin secara harmonis, menjadikan rumah sebagai syurga bagi anak-anak sehingga seluruh penghuni rumah merasakan kedamaian dan bersinergi dengan adanya komunikasi yang harmonis dan keterbukaan.

 

Ciri abad 21 menurut Kemendikbud adalah tersedianya informasi di mana saja  dan kapan saja (informasi), adanya implementasi penggunaan mesin (komputasi}, mampu menjangkau segala pekerjaan rutin (otomatisasi) dan bisa dilakukan dari mana  saja  dan kemana saja (komunikasi). Ditemukan bahwa dalam kurun waktu 20  tahun  terakhir  telah terjadi pergeseran pembangunan pendidikan ke arah ICT sebagai salah satu strategi manajemen  pendidikan  abad  21  yang  di  dalamnya  meliputi  tata  kelola  kelembagaan  dan sumber daya manusia ( Soderstrom, From, Lovqvist, & Tornquist, 2011) 1 . Abad ini memerlukan transformasi pendidikan secara menyeluruh sehingga terbangun kualitas guru yang mampu memajukan pengetahuan, pelatihan, ekuitas siswa dan prestasi  siswa  (Darling-Hammond, 2006 ; Azam & Kingdon, 2014).

yaitu pendidikan yang berdasarkan pada beberapa  konsep berikut:

Berbagai macam komponen inilah yang harus dipersiapkan oleh institusi pendidikan di dalam ruang-ruang kelas. Hidayat  & Patras 3  selanjutnya  menjelaskan  kebutuhan pendidikan  abad 21 menurut Patrick Slattery  dalam bukunya yang berjudul “Curriculum  Development  In The  Postmodern”

  1. Pendidikan harus diarahkan pada perubahan sosial, pemberdayaan kom
  2. unitas, pembebasan pikiran, tubuh dan spirit (mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Dorothy}
  3. Pendidikan harus berlandaskan pada 7 hal utama (mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Thich N
    hat Hanh), yaitu tidak terikat pada teori, ideology, dan agama; jangan berpikir sempit bahwa pengetahuan yang dimiliki adalah yang paling benar; tidak memaksakan kehendak pada orang lain baik dengan kekuasaan, ancaman,
  4. propaganda maupun pendidik an; peduli terhadap sesame; jangan memelihara kebencian dan amarah; jangan kehilangan jatidiri; jangan bekerja di tempat yang menghancurkan manusia dan alam.
  5. Konteks pembelajaran, pengembangan kurikulum dan penelitian diterapkan sebagai kesempatan untuk menghubungkan siswa dengan alam semesta (mengacu pada ko
    nsep yang dikembangkan oleh David Ort)
  6. Membuat guru merasa sejahtera dalam kegiatan pembelajaran (mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Dietrich Bonhoeffer) hal ini senada dengan falsafah Jawa bahwa jer basuki mowo beo yaitu semakin besar kegiatan yang direncanakan maka semakin besar pula biaya yang diperlukan.

Telepas dari keseluruhan teori dan harapan-harapan pendidikan masa depan tersebut sesungguhnya kunci utamanya adalah guru harus bisa menjadi model terbaik bagi peserta didik. Guru harus bisa menjadi model karakter, model kompetensi, dan model literasi. Menjadi model salah satunya dalam komponen  literasi misalnya guru juga seharusnya melakukan pembiasaan-pembiasaan diri untuk berliterasi. Sudahkah guru menjadi model? Ini tantangann terbesar yang harus disadari guru.

 

Sekarang, yang harus dibangun adalah kesadaran guru untuk menyiapkan diri sebagai model karakter, model kompetensi, dan model literasi. Ketiga komponen sederhana tersebut harus dimiliki guru secara universal. Komponen-komponen yang sederhana namun memiliki makna kinerja yang begitu luas dan butuh kesungguhan dalam implementasinya. Guru harus bersungguh-sungguh menyiapkan dirinya untuk bisa menjadi model tersebut karena seribu kalimat motivasi tidak lebih berarti jika dibandingkan dengan satu keteladanan (model).

 

Membaca buku dan kemudian menulis merupakan sebuah keharusan bagi guru. Inilah literasi. Pertanyaannya berapa banyak guru yang tampak di institusi pendidikan menyibukkan dirinya di sela-sela mengajar dengan membaca juga menulis. Berapa banyak guru yang bisa memberikan contoh kepada peserta didik untuk lebih suka membaca buku dan membawa buku yang dibacanya kemana-mana ketimbang menampakkan dirinya asyik dengan obrolan-ob

rolan tanpa jejak kalimat tertinggal ke dalam sebuah tulisan.

Literasi merupakan kualitas atau kemampuan untuk melek h

uruf yang di dalamnya terdapat proses membaca kemudian merekonstruksi hasil bacanya ke dalam menulis. Artinya, di dalam berliterasi selain kita menjadi pembaca maka kita juga harus dapat menjadi penulis kedua dengan cara merekonstruksi hasil baca ke dalam tulisan. Literasi seorang guru dapat dirasakan dan dinikmati sebagai model bagi peserta didik adalah ketika guru telah banyak membuat tulisan-tulisan bermanfaat atau artikel di koran, majalah, atau yang paling mudah diakses siswa adalah melalui laman facebook, website (sekolah, pendidikan, sastra, dan lain-lain yang tersedia di media daring) bahkan dapat pula dinikmati melalui blog yang dibuat guru. Salah satu contoh kecil saja, siapkah guru bahasa Indonesia memberikan contoh sebuah pa

ragraf induktif kepada para peserta didik secara langsung dengan menuliskannya di papan tulis tanpa mencari sebuah potongan paragraf dari buku atau koran? Mampukah guru memberikan contoh ulasan terhadap karya sastra atau resensi buku kepada peserta didik sehingga peserta didik percaya terhadap apa yang disampaikan guru kepada mereka karena guru telah memberikan contoh, dalam hal ini contoh karya sendiri bukan dari memperlihatkan karya orang lain. Sebesar dan sekuat apapun motivasi seorang guru kepada peserta didik tidak akan pernah berpengaruh banyak tanpa adanya keteladanan dari guru itu sendiri.

 

Pembentukan karakter, kompetensi, dan literasi dapat tercapai apabila guru dan orang tua dapat bersama-sama menjalankan tugas masing-masing secara baik dan keduanya mendidik dengan tidak melakukan pembiaran terhadap penyimpangan-penyimpangan, namun mereka menyediakan dirinya sebagai model bagi peserta didik atau anak-anaknya. Guru dan orang tua harus bisa menjadi model bagi peserta didik atau anak-anak bermula dari hal-hal kecil yang menjadi kebiasaan mereka. Hubungan keluarga dan institusi sekolah (guru) yang menyenangkan, terbuka, dan persahabatan menjadi penentu dan kekuatan untuk megembangkan kepribadian peserta didik. Pendidikan diciptakan untuk kebahagiaan. Cara kita menasihati anak/peserta didik akan sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter mereka. Anak-anak ibarat kertas putih yang mulanya kitalah yang menulisi mereka di saat mereka belum mengerti banyak hal namun pada akhirnya saat mereka siap mengepakkan sayap-sayap mereka untuk terbang maka mereka sendirilah yang akan mengisi lembar-lembar buku kehidupan mereka secara merdeka.

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Izuddin, Solikhin Abu dan Dewi astuti. The Great

Sasmoko. 08 Agustus 2017. Pendidikan Abad 21. (https://pgsd.binus.ac.id/2017/08/08/pendidikan-abad-21/) diakses tanggal 26 Juli 2018