Assessment for Learning (AfL) Sebagai Penguat Literasi di Kelas

Literasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan. Melalui literasi siswa diajak untuk mengenal, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi ilmu yang dipelajari. Literasi tidak hanya menekankan pada membaca dan menulis saja, tetapi lebih dari itu. Literasi telah mencakup hampir semua ilmu seperti literasi matematika, sains, teknologi informasi, kesehatan, dan semua lingkup kehidupan. Pada abad 21, ada sembilan literasi yang harus dikuasai untuk bertahan dalam arus globalisasi. Kesembilan jenis literasi itu adalah literasi baca-tulis, berhitung, sains, teknologi informasi dan komunikasi, keuangan, budaya dan kewarganegaraan, kesehatan, keselamatan, dan kriminal1. Dengan demikian, literasi tidak hanya sekedar tempelan untuk melengkapi program pendidikan, tetapi lebih sebagai program untuk membekali kecakapan hidup siswa di masa mendatang.

Setiap mata pelajaran memiliki peran masing-masing dalam mendukung literasi tersebut. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki peran untuk mendukung literasi baca-tulis, budaya dan kewarganegaraan, dan kriminal. Matematika diarahkan untuk meningkatkan literasi baca-tulis, berhitung, teknologi informasi dan komunikasi dan keuangan pada diri peserta didik. Ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, biologi) mengambil peran untuk mengimprovisasi literasi baca-tulis, berhitung, sains, teknologi informasi, dan komunikasi dan kesehatan. Setiap ranah keilmuan memiliki bagian yang mendukung secara parsial semua literasi dasar tersebut. Setiap mata pelajaran memiliki tujuan untuk meningkatan literasi siswa, sedangkan cara yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut masih terbuka untuk dijawab. Hal ini dikarenakan tidak hanya karakteristik mata pelajaran yang menjadi acuan untuk terwujudnya tujuan itu, tetapi juga karakteristik siswa dan sarana yang tersedia. Oleh karena itu, sudah semestinya guru sebagai insan pendukung peningkatan literasi siswa memutar otak untuk memastikan program itu berjalan dengan cara yang sesuai dan elegan menurutnya.

Dalam pembelajaran di kelas, guru memiliki dua tujuan utama yaitu menghantarkan siswanya untuk mencapai batas minimal kompetensi dan mengembangkan kemampuan literasi siswa sesuai cakupan mata pelajaran. Untuk itu, seorang guru perlu untuk merancang indikator yang merepresentasikan keadaan siswa. Baik indikator bahwa siswa melewati batas minimal dan perlu pengayaan maupun indikator belum tercapainya batas minimal dan remedial. Indikator paling sering digunakan dan dikembangkan tersebut dalam dunia penilaian adalah assessment of learning (AoL) atau sumatif. Padahal selain penilaian tersebut ada satu jenis lagi penilaian yaitu assessment of learning (AfL) yang tidak kalah penting. Sangat dapat dipastikan, apabila penilaian hanya mencakup AoL maka tujuan utama yang pertama yang dapat dicapai, sedangkan tujuan kedua akan sulit dicapai. Hal ini didasari bahwa literasi bukan suatu hal yang dapat dinilai di akhir, seperti halnya kompetensi. Literasi lebih kepada bagaimana proses pembiasaan terhadap diri siswa dan bagaimana membuat siswa merasa butuh untuk berliterasi baik membaca, menulis atau hal lain.  

Kurikulum sendiri telah memfasilitasi bagaimana mewujudkan literasi di kalangan siswa. Salah satu yang dikenal luas adalah literasi yang diadaptasi dari materi bimbingan teknis kurikulum 2013 yaitu gerakan literasi sekolah (GLS). GLS memiliki tiga tahapan yaitu pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa pada tahap pembiasaan bertujuan untuk menumbuhkan minat dengan cara membaca 15 menit buku yang disenangi, dan tanpa ada tagihan. Tahap pengembangan lebih fokus untuk meningkatkan kemampuan literasi melalui pemberian tagihan nonakademik dan penghargaan. Sedangkan tahap pembelajaran, lebih memfokuskan pada literasi dalam semua mata pelajaran, menggunakan buku pengayaan, dan ada tagihan akademik dan/atau nonakademik. Ini artinya tujuan utama GLS adalah bagaimana mencapai kesadaran pentingnya literasi bagi siswa saat belajar apapun dan dimanapun, terutama di kelas.

Pelaksanaan program pembelajaran sekaligus literasi di kelas tanpa adanya evaluasi atau assessment adalah omong kosong, sehingga keberadaan assessment mutlak diperlukan. Penilaian untuk kompetensi siswa baik pada ranah kognitif maupun psikomotor diakses melalui pemberian soal atau tes uji keterampilan dapat diwakili dengan penilaian sumatif. Sedangkan aspek afektif selama pembelajaran diobservasi untuk dijadikan pertimbangan untuk dilaporkan saat rapat dewan guru tiap bulan dan rapat kenaikan kelas. Berbeda dengan aspek kompetensi, penilaian untuk literasi tidak dapat diakses hanya dengan melibatkan tes sumatif, tetapi harus ada progress yang dinilai yaitu selama proses pembiasaan literasi siswa. Hal ini dikarenakan, literasi bukanlah suatu output tetapi adalah suatu progress/goal yang hasilnya adalah kesadaran siswa untuk melek literasi dan meningkatnya keikutsertaan siswa dalam memanfaatkan sumber belajar yang ada.

Pelaksanaan literasi di sekolah, dimulai dengan program membaca 15 menit sebelum jam pertama mulai. Bahkan pada jam-jam istirahat, kadang banyak siswa yang memanfaatkannya untuk membaca. Namun pada tahap ini, hampir semua siswa membaca bahan nonakademik yang mendukung mata pelajaran di sekolah, misalnya novel dan komik. Tidak sedikit juga yang memanfaatkan waktu membaca untuk menghafalkan Al-Qur’an, karena sekolah ini adalah pondok pesantren Tahfidzul Qur’an. Iklim literasi tahap awal ini membuat siswa menyenangi membaca bahan nonakademik daripada akademik. Sehingga sebagai guru mapel harus mulai menyusun strategi untuk mengalihkan program agar segera dapat dimanfaatkan untuk keperluan akademik. Harapannya kebiasaan siswa membaca tetap atau bahkan meningkat, tetapi unsur akademik dapat disisipkan dan juga meningkat. Siswa gemar membaca bacaan akademik seperti buku paket dan mengakses informasi yang berkaitan dengan akademik.

Pembelajaran di kelas disusun dengan strategi menerapkan literasi sebelum belajar. Literasi yang dimaksud yaitu salah satunya dengan memberikan tugas rumah berupa membaca dan menulis apa yang dipahami dari yang dibaca. Guru mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran siswa dan segera merespon apa yang menjadi pertanyaan siswa saat belajar. Proses untuk meningkatkan pembelajaran melalui identifikasi kebutuhan dan pemberian feedback yang tepat sasaran merupakan salah satu bagian dari assessment for learning (AfL).

AfL merupakan penilaian yang bertujuan untuk menyediakan feedback kepada siswa agar progress/tujuan belajar mereka dapat tercapai secara lebih efektif2. Pelaksanaan AfL bukan berarti guru sebagai sumber feedback utama, tetapi menempatkan guru sebagai system control yang memfasilitasi siswa belajar lebih efektif. Selama AfL, guru memberikan penjelasan, mengarahkan pembelajaran, dan meningkatkan motivasi siswa, sehingga fungsi guru sebagai fasilitator dapat tercapai. AfL juga memberikan peluang untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam hal berbicara di kelas dan keberanian mengungkapkan pendapatnya. AfL memberikan gambaran bagaimana proses siswa belajar dan mencapai tujuan pembelajaran secara efektif yang dapat dilaporkan kepada orang tua siswa.

Telah banyak cara dan bahan dalam melakukan AfL, lebih lanjut dapat dilihat di website (www.ncca.ie). Salah satu yang sering dilakukan adalah formative assessment yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pembelajaran. Formative assessment juga banyak macamnya. Di kelas kami, melaksanakan formative assessment dengan model raising hand and performing. Ini adalah kiat penilaian formatif untuk mengevaluasi secara cepat dan akurat diagnosis dan ketercapaian tujuan pembelajaran. Model formative assessment mengubah pandangan siswa di kelas, meletakkan dasar bahwa pembelajaran membantu siswa merasa aman dalam mengambil resiko selama kegiatan pembelajaran seperti praktikum/eksperimen, membuat kesalahan dan mengembangkan rasa percaya diri3.

Model raising hand and performing mengaktifkan proses pembelajaran dan mempercepat pencapaian tujuan. Diawali dengan pemberian tugas membaca dan merangkum apa yang sudah mereka pahami di buku catatan masing-masing. Di kelas siswa diminta mempersiapkan diri selama 10 menit untuk membaca ulang apa yang mereka pelajari. Guru meminta semua siswa mengangkat tangan kiri. Selanjutnya guru memberikan pertanyaan yang paling sulit menuju paling ringan. Setiap pemberian pertanyaan, diikuti instruksi untuk menurunkan tangan apabila mereka bisa menjawab pertanyaan. Perlu diingat, siswa tidak menjawab secara oral, tetapi sadar bahwa dia bisa. Hingga yang paling akhir, pertanyaan yang paling mudah, dan semua siswa menurunkan tangannya. Dilanjutkan, evaluasi mulai pertanyaan yang sulit hingga mudah, yang dijelaskan oleh siswa yang menurunkan tangannya tadi. Pelaksanaan AfL jenis ini, membutuhkan waktu kurang lebih 3-5 menit. Guru sudah dapat mengetahui, apa yang masih belum dipahami, apa yang sudah dipahami, dan siapa saja yang paham dan belum paham, termasuk siapa yang belum membaca atau berliterasi dalam waktu kurang dari 5 menit. Sehingga di awal pembelajaran, guru berhasil mendiagnosis kebutuhan siswa dan memberikan feedback yang tepat sasaran.

Model raising hand and performing mampu menanamkan konsep-konsep dasar yang wajib diingat siswa. Melalui serangkaian kegiatan AfL ini, secara otomatis siswa akan berusaha mengingat konsep dasar materi, seperti teori, hukum, dan persamaan. Selain itu, siswa juga akan terbiasa harus belajar terlebih dahulu sebelum masuk kelas, agar tidak mengangkat tangan lebih lama. Dengan demikian, tujuan pembelajaran untuk memfasilitasi dan mendorong siswa terus belajar, segera memberikan feedback sesuai kebutuhan, sekaligus mengefektifkan proses belajar untuk mencapai hasil belajar yang maksimal dapat tercapai. Pelaksanaan AfL biasanya dilakukan sebelum pembelajaran untuk keperluan diagnosis dan diakhir pembelajaran untuk keperluan evaluasi pencapaian. Nyatanya, selama pembelajaran di kelas, kami memiliki kesimpulan bahwa AfL memang sangat bermanfaat dan mutlak diperlukan khususnya untuk memperkuat literasi siswa. Meskipun bukan berupa tagihan dalam bentuk tugas, tetapi di kelas siswa ditagih untuk berbicara hasil literasinya di kelas.

 

Referensi

1 Materi Bimbingan Teknis Kurikulum 2013 SMK 2017

2 NCCA. Assessment for Learning. (Online) (www.ncca.ie)

3 OECD. 2005. Formative Assessment: Improving Learning in Secondary Classrooms. Policy Brief. (Online) (www.oecd.og/publications/policybriefs)

 

 

Gambar 1. Siswa membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai

Gambar 2. AfL model Raising Hand and Performing

Gambar 3. Memfasilitasi Siswa untuk berani bereksperimen tanpa rasa takut melakukan kesalahan dalam pengawasan guru